Beberapa waktu lalu, saya dan teman seperjuangan di masa SMA berkunjung ke Garut, lebih tepatnya Gunung Papandayan. Di perjalanan itu, saya melihat dan mengalami banyak hal yang baru dan nggak biasa. Cerita lengkap perjalanan saya mendaki Papandayan sudah saya paparkan di artikel Pendakian Papandayan.
Di artikel ini, bedanya, saya akan bercerita melalui gambar. Nggak ada teknik fotografi yang terlalu apik dalam memvisualisasikannya. Nggak ada kaedah jurnalisme yang mutlak sana-sini dalam pengemasannya. Ya, maklum, saya juga nggak ngerti-ngerti amat.
Foto-foto ini diambil jauh sebelum Gunung Papandayan se-necis sekarang.
Pemandangan awal-awal pendakian. Semangat masih membara.
Madoy sedikit ngambil napas. Padahal, 10 langkah sebelumnya, Ia juga beristirahat.
Langkah saya sempat terhenti karena bukit ini. Aura megah sekaligus mistisnya menarik perhatian.
Keseluruhan pendaki beristirahat, sekitar 20 langkah dari tempat Madoy beristirahat. Emang dasar culun!
Bang Bars berpose. Ikatan kepala bak dukun dan jaket motor anti tilang pun menghiasi tampilannya.
Bersiap untuk melanjutkan pendakian, tapi tak lupa untuk sebat duls.
Satu langkah diambil, jutaan semangat mengepul. Kabut yang tak lagi tipis menemani sisa perjalanan hingga ke camping ground.
Saat tiba di camping ground, tenda dibangun asal-asalan, karena mengingat kondisi tengah hujan, kedinginan, dan kurang kasih sayang.
Kojel yang kedinginan cuma bisa bengong dan bingung. Nggak aneh kalo tiba-tiba dia teriakin nama mantannya.
Ngerokok pakai sarung tangan. Kiper juga kalah keren sama Yogi.
Pas kami menuju Hutan Mati, ada ladang cantik ini. Saat saya abadikan, ada serpihan martabak telor lewat.
Hal yang mustahil dilewatkan adalah narsis. Perihal laper, dekil, dan kebelet, urursan nanti!
Saya kurang tau penyebab pasti hangusnya Hutan Mati. Yang saya tau, pas ngambil foto ini, ada remaja bingung yang tengah bergelantungan asik di hammock, persis di belakang saya.
Kami dari awal berniat mencari dataran yang lebih tinggi, biar bisa ngelihat Hutan Mati lebih luas. Ya beginilah jalur yang harus dilewati.
Sebelum jalan, saya motret sisi ini terlebih dahulu. Alasannya sederhana: “bisa ke puncak itu nggak ya?”
Di tengah perjalanan menuju dataran yang lebih tinggi, terlihat seonggok makhluk yang entah gimana bisa ada di dinding bukit yang sebegitu curamnya. Saya curiga mereka bisa mengeluarkan jaring dari tangannya.
Pas balik ke tenda pun kami tetep narsis terlebih dahulu. Bisa demam 3 bulan kalo nggak narsis di tempat se-ajaib Gunung Papandayan ini.
Obrolan cantik Yogi, Bang Bars, dan Jack. Oh, tentunya bukan obrolan yang punya arah. Dari ngomongin kerjaan, bisa tiba-tiba ke desain botol Le Minerale.
Keken mempersiapkan makanan untuk yang lain. Deni memulihkan dirinya karena semalam hampir hipotermia. Mereka berdua kami tinggal di tenda selama kami di Hutan Mati. Selama itu pula, entah apa yang mereka lakukan.
Di foto ini, kami kelihatan keren nggak sih? Kalo iya, ya emang bener kami keren.
Foto terakhir sebelum perjalanan pulang dimulai. Kayaknya saya bukan satu-satunya orang yang tiap ngelihat foto ngumpul bareng kerabat, dimana dan ngapain pun itu, langsung teringat hal seru di dalamnya dan berkata dalam hati, “kangen banget, aseli!”
Leave a Reply